Mari Mengaji !!

Selasa, 01 Februari 2011

5 Kecerdasan Meraih Sukses

5 Kecerdasan Meraih Sukses
Tahukah Anda, kompetisi yang paling bijak adalah memecahkan rekor Anda sendiri sesuai dengan kemampuan. Maka sukses yang diukur dengan pencapaian sesuatu akan terasa bijak, ketika pencapaian ini diikuti dengan perasaan bahagia sekaligus menciptakan efek domino di berbagai sisi kehidupan. Oleh karena rasa bahagia ini bersifat subjektif maka baik kiranya kita menciptakan rasa bahagia ini sepanjang perjalanan menuju kesuksesan.
Disini memperlihatkan bahwa ketika kita mampu meraih kesuksesan maka kita mempunyai peluang yang besar untuk menciptakan kebahagiaan. Sebagai contoh, ketika anak kita sakit dan kita sebagai orangtua tidak mampu membawanya ke dokter karena biaya, bisa jadi kondisi ini menghambat terciptanya kebahagiaan. Oleh karena itu, sebuah kesuksesan merupakan hal penting dalam menciptakan kebahagiaan.
Kalau dilihat dari sifatnya yang subjektif bahagia dan sukses adalah buah dari perilaku. Dimana perilaku sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan kebiasaan merupakan buah dari sikap. Adapun sikap berawal dari paradigma dimana paradigma sangat dipengaruhi oleh pengetahuan. Nah, kesuksesan sangat tergantung dari kemampuan dan kecerdasan kita dalam menangkap pengetahuan, mengolah, menghayati, dan menjadikannya sebagai alat untuk take action dalam meraih tujuan.
Sebuah studi mengenai orang-orang yang sangat sukses menunjukkan bahwa orang-orang sukses memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup baik. Mereka hidup relatif sederhana dibandingkan dengan jumlah kekayaan yang sebenarnya. Kehidupan sosial mereka tergolong sangat baik, selain itu sifat yang paling menonjol adalah keuletan, tangguh, sabar, mampu mengendalikan diri, dan mempunyai keluarga yang harmonis dimana sifat dan karakter ini menunjukkan kecerdasan emosional (EQ) yang sangat baik.
Mereka juga mempunyai kesadaran diri yang tinggi terhadap hukum Tuhan dimana mereka meyakini perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan pula, hal ini mendorong mereka untuk menggunakan kekayaannya demi sesuatu yang lebih bermakna dalam hidupnya. Artinya keyakinan akan hukum Tuhan menandakan bahwa mereka mempunyai kecerdasan spiritual (SQ) yang sangat baik.
Ciri-ciri yang lain adalah mereka mempunyai impian besar dan tujuan yang jelas yang menandakan bahwa mereka juga mempunyai kecerdasan aspirasi (AI) yang baik dalam membangun impian, cita-cita dan tujuan. Dalam mewujudkan kesuksesannya mereka tidaklah sendirian karena mereka sadar tanpa bantuan orang lain mereka tidak bisa berbuat apa-apa, maka mereka menjalin kerjasama dengan orang lain untuk mewujudkan impiannya.
Hal ini memperlihatkan kecerdasan kekuatan (PI) yang baik dalam memanfaatkan kekuatan yang ada di dalam dirinya maupun lingkungan sekitarnya Disini terlihat bahwa kelima kecerdasan ini mampu mereka kembangkan dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Agar mampu untuk sukses dan bahagia, manusia memerlukan pengembangan kelima kecerdasannya. Sukses disini dalam arti yang luas, menyangkut finansial, bisnis, karir, keluarga, kesehatan, pengembangan diri, kebahagiaan, dan semua tujuan yang berharga bagi manusia.
Oleh : Sugeng Dwi Triswanto

Selasa, 11 Januari 2011

Sebab-sebab Naik-turunnya Iman dan Cara Meningkatkan Keimanan

CARA MENAIKKAN KADAR IMAN :

1. Pelajarilah berbagai ilmu agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits

a. Perbanyaklah membaca Al-Qur’an dan renungkan maknanya
Ayat-ayat Al-Qur’an memiliki target yang luas dan spesifik sesuai kebutuhan masing-masing orang yang sedang mencari atau memuliakan Tuhannya. Sebagian ayat Al-Qur’an mampu menggetarkan kulit seseorang yang sedang mencari kemuliaan Allah, dilain pihak Al-Qur’an mampu membuat menangis seorang pendosa, atau membuat tenang seorang pencari ketenangan.
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS, Shaad 38:29)
”Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian.” (QS, al-Israa’ 17:82)

b. Pelajarilah ilmu mengenai Asma’ul Husna, Sifat-sifat Yang Maha Agung.
Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka ia akan menahan lidahnya, anggota tubuhnya dan gerakan hatinya dari apapun yang tidak disukai Allah.
Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Indah, Maha Agung dan Maha Perkasa, maka semakin besarlah keinginannya untuk bertemu Allah di hari akhirat sehingga iapun secara cermat memenuhi berbagai persyaratan yang diminta Allah untuk bisa bertemu dengan-Nya (yaitu dengan memperbanyak amal ibadah).
Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Santun, Maha Halus dan Maha Penyabar, maka iapun merasa malu ketika ia marah, dan hidupnya merasa tenang karena tahu bahwa ia dijaga oleh Tuhannya secara lembut dan sabar.

c. Pelajari dengan cermat sejarah (Siroh) kehidupan Rasulullah SAW.
Dengan memahami perilaku, keagungan dan perjuangan Rasulullah, akan menumbuhkan rasa cinta kita terhadapnya, kemudian berkembang menjadi keinginan untuk mencontoh semua perilaku beliau dan mematuhi pesan-pesan beliau selaku utusan Allah.
Seorang sahabat r.a. mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasul Allah, kapan tibanya hari akhirat?”. Rasulullah saw balik bertanya : “Apakah yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari akhirat?”. Si sahabat menjawab , “Wahai Rasulullah, aku telah sholat, puasa dan bersedekah selama ini, tetap saja rasanya semua itu belum cukup. Namun didalam hati, aku sangat mencintai dirimu, ya Rasulullah”. Rasulullah saw menjawab, “Insya Allah, di akhirat kelak engkau akan bersama orang yang engkau cintai”. (HR Muslim) Inilah hadits yang sangat disukai para sahabat Rasulullah SAW. Jelaslah bahwa mencintai Rasulullah adalah salah satu jalan menuju surga, dan membaca riwayat hidupnya (siroh) adalah cara terpenting untuk lebih mudah memahami dan mencintai Rasulullah SAW.

d. Mempelajari Jasa-jasa dan Kualitas Agama Islam
Perenungan terhadap syariat Islam, hukum-hukumnya, akhlak yang diajarkannya, perintah dan larangannya, akan menimbulkan kekaguman terhadap kesempurnaan ajaran agama Islam ini. Tidak ada agama lain yang memiliki aturan dan etiket yang sedemikian rincinya seperti Islam, dimana untuk makan dan ke WC pun ada adabnya, untuk aspek hukum dan ekonomi ada aturannya, bahkan untuk berhubungan suami -istripun ada aturannya.

e. Mempelajari Kehidupan Orang-orang Sholeh (generasi Shalafus Sholihin, para sahabat Rasulullah SAW, murid-murid para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
Mereka adalah generasi-generasi terbaik dari Islam. Mereka adalah orang-orang yang kadar keimanannya diibaratkan sebesar gunung Uhud sementara manusia zaman kini diibaratkan kadar keimananya tak lebih dari sebutir debu dari gunung Uhud. Umar r.a. pernah memuntahkan makanan yang sudah masuk ke perutnya ketika tahu bahwa makanan yang diberikan padanya kurang halal sumbernya. Sejarah lain menceritakan tentang lumrahnya seorang tabi’in meng-khatamkan Qur’an dalam satu kali sholatnya. Atau cerita tentang seorang sholeh yang lebih dari 40 tahun hidupnya berturut-turut tidak pernah sholat wajib sendiri kecuali berjamaah di mesjid. Atau seorang sholeh yang menangis karena lupa mengucap doa ketika masuk mesjid. Inilah cerita-cerita teladan yang mampu menggetarkan hati seorang yang sedang meningkatkan keimanannnya.

2. Renungkanlah tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam (ma’rifatullah)
Singkirkan dulu kesombongan akal kita, renungkan secara tulus bagaimana alam ini diciptakan. Sungguh pasti ada kekuatan luar biasa yang mampu menciptakan alam yang sempurna ini, sebuah struktur dan sistem kehidupan yang rapi, mulai dari tata surya, galaksi hingga struktur pohon dan sel-sel atom.
Renungkan pula rahasia dan mukjizat Qur’an. Salah satu keajaiban Al Qur’an adalah struktur matematis Al Qur’an. Walau wahyu Allah diturunkan bertahap namun ketika seluruh wahyu lengkap maka ditemukan bahwa kata tunggal “hari” disebut sebanyak 365 kali, sebanyak jumlah hari pada satu tahun syamsiyyah (masehi). Kata jamak hari disebut sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam satu bulan. Sedang kata Syahrun (bulan) dalam Al Quran disebut sebanyak 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam satu tahun. Kata Saa’ah (jam) disebutkan sebanyak 24 kali sama dengan jumlah jam sehari semalam. Dan semua kata-kata itu tersebar di 114 surat dan 6666 ayat dan ratusan ribu kata yang tersusun indah. Dan masih banyak lagi keajaiban dan mukjizat Al Quran dari sisi pandang lainnya yang membuktikan bahwa itu bukan karya manusia. Masih banyak pula mukjizat lainnya di alam ini yang membuktikan bahwa alam ini memiliki struktur yang sangat sempurna dan tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Adalah lumrah, bahwa sesuatu yang tidak mungkin diciptakan manusia, pastilah diciptakan sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Besar. Inilah yang menambah kecilnya diri kita dan menambah kekaguman dan cinta serta iman kita kepada Sang Pencipta alam semesta ini.

3. Berusaha keras melakukan amal perbuatan yang baik secara ikhlas
Amal perbuatan perlu digerakkan. Dimulai dari hati, kemudian terungkap melalui lidah kita dan kemudian anggota tubuh kita. Selain ikhlas, diperlukan usaha dan keseriusan untuk melakukan amalan-amalan ini.
a. Amalan Hati
Dilakukan melalui pembersihan hati kita dari sifat-sifat buruk, selalu menjaga kesucian hati. Ciptakan sifat-sifat sabar dan tawakal, penuh takut dan harap akan Allah. Jauhi sifat tamak, kikir, prasangka buruk dan sebagainya.
b. Amalan Lidah
Perbanyak membaca Al-Qur’an, zikir, bertasbih, tahlil, takbir, istighfar, mengirim salam dan sholawat kepada Rasulullah dan mengajak orang lain kepada kebaikan, melarang kemungkaran.
c. Amalan Anggota Tubuh
Dilakukan melalui kepatuhan dalam sholat, pengorbanan untuk bersedekah, perjuangan untuk berhaji hingga disiplin untuk sholat berjamaah di mesjid (khususnya bagi pria).

SEBAB-SEBAB TURUNNYA KADAR IMAN :

Sebab-sebab dari dalam diri kita sendiri (Internal) :

1. Kebodohan
Kebodohan merupakan pangkal dari berbagai perbuatan buruk. Seseorang berbuat jahat boleh jadi karena ia tak tahu bahwa perbuatan itu dilarang agama, atau ia tidak tahu ancaman dan bahaya yang akan dihadapinya kelak di akhirat, atau ia tidak tahu keperkasaan Sang Maha Kuasa yang mengatur denyut jantungnya, mengatur musibah dan rezekinya.

2. Ketidakpedulian, keengganan dan melupakan
Ketidakpedulian menyebabkan pikiran seseorang diisi dengan hal-hal duniawi yang hanya ia sukai (yang ia pedulikan), sedangkan yang bukan ia sukai tidak diberi tempat dipikirannya. Ini menyebabkan ia tidak ingat (dzikir) pada Allah, sifatnya tidak tulus, tidak punya rasa takut dan malu (kepada Allah), tidak merasa berdosa (tidak perlu tobat), dan bisa jadi ia menjadi sombong karena tidak merasakan pentingnya berbuat rendah hati dan sederhana.
Kengganan seseorang untuk melakukan suatu kebaikan padahal ia tahu hal itu telah diperintahkan Allah, maka ia termasuk orang yang men-zhalimi (melalaikan) dirinya sendiri. Allah akan mengunci hatinya dari jalan yang lurus (al-Kahfi 18:5), dan ia akan menjadi teman syeitan (Thaaha 20:124).
Melupakan kewajiban dan kepatuhan seseorang dalam beribadah berawal dari sifat lalai atau lemah hatinya. Waktu dan energinya harus didorong agar diisi lebih banyak dengan perbuatan amal sholeh, kalau tidak maka kesenangan duniawi akan semakin menguasai dirinya hingga ia semakin jauh dari ingat (dzikir) kepada Allah.

3. Menyepelekan dan melakukan perbuatan dosa
Awal dari perbuatan dosa adalah sikap menyepelekan (tidak patuh terhadap) perintah dan larangan Allah. Perbuatan dosa umumnya dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dari zinah pandangan mata yang dianggap dosa kecil kemudian berkembang menjadi zinah tubuh. Dosa-dosa kecil yang disepelekan merupakan proses pendidikan jahat (pembiasaan) untuk menyepelekan dosa-dosa besar. Karena itu basmilah dosa-dosa kecil selagi belum tumbuh menjadi dosa besar.

4. Jiwa yang selalu memerintahkan berbuat jahat
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, Allah menggabungkan dua jiwa, yakni jiwa jahat dan jiwa yang tenang sekaligus dalam diri manusia, dan mereka saling bermusuhan dalam diri seorang manusia. Disaat salah satu melemah, maka yang lain menguat. Perang antar keduanya berlangsung terus hingga si empunya jiwa meninggal dunia. Adalah sungguh merugi orang-orang yang jiwa jahatnya menguasai tubuhnya. Seperti sabda Rasulullah, “..barang siapa yang diberi petunjuk Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkannya maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk”. Sifat lalai, tidak mau belajar agama, sombong dan tidak peduli merupakan beberapa cara untuk membiarkan jiwa jahat dalam tubuh kita berkuasa. Sedangkan sifat rendah hati, mau belajar, mau melakukan instropeksi (muhasabah) merupakan cara untuk memperkuat jiwa kebaikan (jiwa tenang) yang ada dalam tubuh kita.

Sebab-sebab dari luar diri kita (External) :

1. Syaitan
Syaitan adalah musuh manusia. Tujuan syaitan adalah untuk merusak keimanan orang. Siapa saja yang tidak membentengi dirinya dengan selalu mengingat Allah maka ia menjadi sarang syaitan, menjerumuskannya dalam kesesatan, ketidak patuhan terhadap Allah, membujuknya melakukan dosa.

2. Bujukan dan rayuan dunia
Allah SWT berfirman : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS, al-Hadiid 57:20).
Tujuan hidup manusia seluruhnya untuk akhirat. Apapun kegiatan dunia yang kita lakukan, seperti mencari nafkah, menonton TV, bertemu teman dan keluarga, seharusnya semua itu ditujukan untuk meraih pahala akhirat. Tidak secuilpun dari kegiatan duniawi boleh dilepaskan dari aturan main yang diperintahkan atau dilarang Allah. Ibnul Qayyim mengibaratkan hati sebagai suatu wadah bagi tujuan hidup manusia (akhirat dan duniawi) dengan kapasitas (daya tampung) tertentu. Ketika tujuan duniawi tumbuh maka ia akan mengurangi porsi tujuan akhirat. Ketika porsi tujuan akhirat bertambah maka porsi tujuan duniawi berkurang. Dalam situasi dimana tujuan dunia menguasai hati kita maka hanya tersisa sedikit porsi akhirat di hati kita, dan inilah awal dari menurunnya keimanan kita.

3. Pergaulan yang buruk
Rasulullah bersabda : “Seseorang itu terletak pada agama teman dekatnya, sehingga masing-masing kamu sebaiknya melihat kepada siapa dia mengambil teman dekatnya” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, al-Hakim, al-Baghawi).
Seorang teman yang sholeh selalu memperhatikan perintah dan larangan Allah, karenanya ia selalu mengajak siapa saja orang disekitarnya untuk menuju kepada kebaikan dan mengingatkan mereka bila mendekati kemungkaran. Teman dan sahabat yang sholeh sangat penting kita miliki di zaman kini dimana pergaulan manusia sudah sangat bebas dan tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama Islam. Berada diantara teman-teman yang sholeh akan membuat seorang wanita tidak merasa asing bila mengenakan jilbab. Demikian pula seorang pria bisa merasa bersalah bila ia membicarakan aurat wanita diantara orang-orang sholeh. Sebaliknya berada diantara orang-orang yang tidak sholeh atau berperilaku buruk menjadikan kita dipandang aneh bila berjilbab atau bahkan ketika hendak melakukan sholat.

Menaikkan kadar iman bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena begitu banyak usaha (menuntut ilmu, amalan-amalan) yang harus kita lakukan disamping godaan (syaitan, duniawi) yang akan kita hadapi. Paling tidak kita termasuk orang-orang yang lebih beruntung dibanding orang lain yang belum sempat mengetahui “sebab-sebab naik-turunnya iman” dalam tulisan ini. Mari kita ingatkan teman-teman kita dengan menyebarkan tulisan ini.

Sumber :
1. Sebab-sebab Naik Turunnya Iman, oleh Syaikh Abdur Razzaaq al-Abbaad
2. Asma’ul Husna, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
3. Penawar Hati yang Sakit, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Memaafkan dan Manfaatnya Bagi Kesehatan

Jakarta, Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa rasa benci, dendam dan permusuhan dapat memicu tekanan darah tinggi. Sebaliknya, memaafkan bisa meredakan stres dan menjaga jantung tetap sehat.



Stres akan muncul ketika batin seseorang terganjal oleh rasa kecewa atau tersakiti. Melupakan dan menganggap benar sebuah kesalahan yang menyebabkan rasa sakit tersebut tidak selalu bisa mengatasinya, kadang-kadang justru menambah beban di hati.



Dikutip dari Mayo Clinic, Jumat (10/9/2010), memaafkan adalah sebuah proses perdamaian dengan diri sendiri. Diawali dengan pengakuan akan adanya rasa sakit, seseorang yang memberi maaf justru akan merasa lebih rileks untuk menerima kondisinya.



Dengan kondisi mental yang lebih rileks, seseorang juga akan terhindar dari risiko penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang. Risiko tersebut umumnya dihadapi oleh para pendendam yang membutuhkan jalan pintas untuk lepas dari beban emosi negatifnya.



Manfaat lain dari saling memaafkan terungkap dalam penelitian di University of Massachusetts, yakni bisa menurunkan tekanan darah dengan lebih cepat. Efek percepatan itu bisa mencapai 20 persen pada wanita, sementara pada pria efeknya lebih kecil.



Tekanan darah, denyut jantung dan kontraksi otot biasanya meningkat ketika seseorang terlibat konflik, sehingga risiko serangan jantung dan stroke menjadi lebih tinggi. Gejala tersebut akan mereda ketika konflik berakhir, atau akan lebih cepat jika kedua pihak yang berkonflik saling bermaafan.



Sedangkan untuk bisa memaafkan, seseorang yang pernah merasa tersakiti akan melewati 4 tahap berikut ini.



1. Mengakui dengan jujur adanya rasa sakit hati atau kemarahan di dalam dirinya, sebagai akibat dari kesalahan orang lain.
2. Memahami bahwa situasi tersebut tidak baik untuk dirinya, sehingga harus diubah.
3. Menemukan cara baru untuk menyikapi orang lain yang telah membuatnya marah atau sakit hati.
4. Memahami bahwa orang itu butuh dimaafkan, sebagaimana dirinya juga ingin dimaafkan jika berbuat salah.

Namun jika ada seseorang yang sulit untuk memaafkan, kesalahan mungkin ada pada cara menyampaikan permintaan maaf. Menurut sebuah penelitian di University of Valencia, permintaan maaf lebih efektif jika disampaikan melalui telinga kanan

.



Sensor pendengaran di sebelah kanan terhubung dengan belahan otak kiri, bagian yang berhubungan dengan logika. Menurut peneliti, hal itu akan menyebabkan permintaan maaf ditangkap dan diproses dengan lebih rasional.

Bila Cinta Menyapa

‘Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridhaan pacarnya. Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridhaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.

Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

“Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah, adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zhalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat adzab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah : 165)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka/sesembahan tandingan itu sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar. Akan tetapi hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7. islamspirit.com).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Allah ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah yaitu [sesembahan-sesembahan] tandingan. Mereka menyembahnya disamping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, tidak ada yang sanggup menentang-Nya, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya. Di dalam Ash-Shahihain [Sahih Bukhari dan Muslim] dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-, dia berkata : Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar.” Beliau menjawab : “Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya padahal Dialah yang menciptakanmu.” Sedangkan firman Allah, “adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, I/262)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana mencintai Allah ta’ala maka dia termasuk kategori orang yang telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Syirik ini terjadi dalam hal kecintaan bukan dalam hal penciptaan dan rububiyah… Karena sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang musyrik itu menyetarakan sesembahan mereka dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan. Inilah pemaknaan ayat tersebut sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…” (Ibthaalu Tandiid, hal. 180).

Syaikhul Islam mengatakan : “Penyetaraan semacam itulah yang disebutkan di dalam firman Allah ta’ala tatkala menceritakan penyesalan mereka di akhirat ketika berada di neraka. Mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu mereka dalam keadaan mereka sama-sama mendapatkan adzab (yang artinya) : “Demi Allah, dahulu kami di dunia berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 97-98). Telah dimaklumi bersama, bahwasanya mereka bukan mensejajarkan sesembahan mereka dengan Rabbul ‘alamin dalam hal penciptaan dan rububiyah. Namun mereka hanya mensejejajarkan pujaan-pujaan itu dengan Allah dalam hal cinta dan pengagungan…” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320-321)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Kecintaan orang-orang yang beriman lebih dalam dikarenakan kecintaan tersebut adalah kecintaan yang murni yang tidak terdapat noda syirik di dalamnya. Sehingga kecintaan orang-orang yang beriman menjadi lebih dalam daripada kecintaan mereka (orang-orang kafir) kepada Allah.” (Al-Qaul Al-Mufid, II/4-5).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna ‘orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah’ yaitu apabila dibandingkan dengan kecintaan para pengangkat tandingan itu terhadap sekutu-sekutu mereka. Karena orang-orang yang beriman itu memurnikan cinta untuk Allah, sedangkan mereka mempersekutukan-Nya. Selain itu, mereka juga mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai, dan kecintaan kepada-Nya merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan kemenangan hamba. Adapun orang-orang musyrik itu telah mencintai sesuatu yang pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk dicintai. Dan mencintai tandingan-tandingan itu justru menjadi sumber kebinasaan dan kehancuran hamba serta tercerai-cerainya urusannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 80).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)…” Beliau menegaskan : “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu koneskuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada rasul –bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua dan anak-anak- merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)

Buktikan Cintamu!

Dari Anas radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai dia menjadikan aku lebih dicintainya daripada anak, orang tua dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata : “Maka keimanan tidak menjadi sempurna sampai Rasul lebih dicintainya daripada seluruh makhluk. Kalau demikian halnya yang seharusnya diterapkan dalam kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimanakah lagi dengan kecintaan kepada Allah ta’ala?!!…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/6).

Allah ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي

“Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku.” (QS. Ali-’Imraan : 31). Syaikhul Islam berkata : “Maka tidaklah seseorang menjadi pecinta Allah hingga dia mau tunduk mengikuti Rasulullah.” (lihat Al-’Ubudiyah)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Pokok dari seluruh amal perbuatan adalah rasa suka (cinta). Karena seorang manusia tidaklah melakukan sesuatu kecuali apa yang disukainya, baik dalam rangka mendapatkan manfaat atau untuk menolak madharat. Maka apabila dia melakukan sesuatu tentulah karena dia menyukainya, mungkin karena dzat sesuatu itu sendiri (sebab internal) seperti halnya makanan atau karena sebab eksternal seperti halnya meminum obat. Ibadah kepada Allah itu dibangun di atas pondasi kecintaan. Bahkan rasa cinta itulah hakikat dari ibadah. Sebab apabila anda beribadah tanpa memiliki rasa cinta maka ibadah yang anda perbuat akan terasa hambar dan tidak ada ruhnya. Karena sesungguhnya apabila di dalam hati seorang insan masih terdapat rasa cinta kepada Allah dan keinginan untuk menikmati surga-Nya maka tentunya dia akan menempuh jalan untuk menggapainya…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang pada dirinya terdapat ketiganya niscaya akan merasakan manisnya iman; [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, [2] dia mencintai orang lain tidak lain disebabkan cinta karena Allah, [3] dan dia tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari [15,20,5581,6428] dan Muslim [60,61] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [92] dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu disahihkan Al-Albani dalam takhrij Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tanda kebenaran cinta itu ialah apabila seseorang dihadapkan kepadanya dua perkara, salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya sementara di dalam dirinya tidak ada keinginan (nafsu) untuk itu, sedangkan perkara yang lain adalah sesuatu yang disukai dan diinginkan oleh nafsunya akan tetapi hal itu akan menghilangkan atau mengurangi perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Apabila ternyata dia lebih memprioritaskan apa yang diinginkan oleh nafsunya di atas apa yang dicintai Allah ini berarti dia telah berbuat zalim dan meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilakukannya” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 332).

Maka perhatikanlah wahai saudaraku kecenderungan dan gerak-gerik hatimu, jangan-jangan selama ini engkau telah menobatkan sesembahan selain Allah jauh di dalam lubuk hatimu; entah itu harta, kedudukan, jabatan, benda, atau sesosok manusia. Engkau mengharapkannya, menggantungkan cita-citamu kepadanya, takut kehilangan dirinya sebagaimana rasa takutmu kehilangan bantuan dari Allah ta’ala, sehingga keridhaannya pun menjadi tujuan segala perbuatan dan tingkah lakumu. Halal dan haram tidak lagi kau pedulikan, aturan Allah pun kau lupakan. Aduhai, betapa malang orang-orang yang telah menjadikan makhluk yang lemah dan tak berdaya sebagai tumpuan harapan hidupnya. Sungguh benar Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengatakan, “Sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Semoga Allah menyelamatkan hati kita dari tipu daya Iblis dan bala tentaranya, dan semoga Allah meneguhkan hati kita untuk menjunjung tinggi kecintaan kepada-Nya di atas segala-galanya. Sebab tidak ada lagi yang lebih melegakan hati dan perasaan kita selain tatkala Allah ta’ala telah menetapkan cinta-Nya untuk kita, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi-Nya, segala puji bagi Allah Rabb penguasa seluruh alam semesta.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

BARANGSIAPA BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI AKHIR

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, ”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (HR. Bukhori - Muslim)

Membaca hadits di atas, ada semacam tanda tanya. Mengapa persoalan bicara disampaikan bersama dengan perkara menghormati tetangga dan memuliakan tamu?
Lalu mulailah diri ini merenung....
Kalau menjaga lisan dihubungkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir, OK lah. Bisa dipahami dan sangat nyambung. Bahwa manusia, sesuai fithrahnya memang tidak dapat lepas dari persoalan komunikasi dengan manusia lainnya, setiap saat. Sehingga potensi keselamatan hidup manusia di dunia dan akhirat sangat tergantung pada cara berkomunikasinya tersebut.
Kemudian, kalau urusan menghormati tetangga menjadi bukti iman seorang muslim kepada Allah dan hari akhir, itu juga sangat wajar dan bisa dipahami. Karena tetangga adalah orang terdekat di sekitar keluarga kita. Apabila kita mempunyai kelebihan rezeki, maka sudah sepantasnya tetangga ikut merasakan kelebihan tersebut. Atau, bila ada tetangga yang membutuhkan bantuan maka kitalah yang pertama kali wajib menolong dan meringankan beban tersebut. Satu hal yang memang wajar dan pantas dikaitkan dengan keimanan seorang muslim.
Dan, kalau soal memuliakan tamu menjadi tolok ukur keimanan seorang muslim, itu juga wajar.
Apalagi bagi kita yang hidup di ruang budaya Timur. Etika ketimuran secara alamiah mendidik kita untuk bersikap baik dan menghormati setiap tamu yang datang ke rumah. Meskipun itu tamu yang baru kita kenal. Maka tak berlebihan kalau Islam menjadikan akhlaq memuliakan tamu sebagai salah satu tolok ukur keimanan seorang muslim.
Tapi, kalau ketiganya disebutkan dalam satu hadits, apa maksudnya? Hikmah apakah yang tersimpan di dalamnya? Diri ini merenung semakin dalam....
Rupanya ada kata kunci yang terlihat menghubungkan ketiganya. Kata kuncinya adalah menghormati dan menghargai. Ketiga perintah di atas mengajak mu’min untuk menghormati dan menghargai orang lain dalam kehidupannya sehari-hari. Dimulai dari hal yang paling sederhana dan paling dekat, yaitu berbicara, bertetangga, dan saat menjadi tuan rumah.
Pertama, soal bicara. Orang berbicara setiap ada kesempatan, di mana pun di pojok dunia ini. Di jalan, di toko, di sekolah, di rumah, di pasar, bahkan di sekolah khusus tuna wicara sekalipun! Berbicara adalah hal paling sederhana yang dilakukan manusia untuk menyampaikan keinginan dan maksudnya. Maka Islam mengajarkan, agar kepada siapa pun seorang mu’min harus (wajib) menjaga lisannya dari perkataan yang buruk, sia-sia, atau menyakitkan. Tujuannya, untuk menghormati dan menghargai orang lain.
Kedua, soal tetangga. Menghormati tetangga berarti, jika ada tetangga yang menyebalkan, yang berulah, dan sombong, bukan berarti wajib dibalas dengan perbuatan yang serupa. Justru dengan hadits ini, seorang mu’min didorong untuk bersikap sebaik-baiknya pada tetangganya. Dan jika si tetangga melakukan kesalahan, maka seorang mu’min tidak boleh berkata kasar (apalagi mengumpat) padanya, atau berkata tentang keburukannya, atau menggunjing tentangnya, atau menyakitinya. Sebaliknya, seorang mu’min wajib menasehati tetangganya.
Ketiga, soal tamu. Memuliakan tamu berarti menghormati dan menghargai kebutuhan tamu.
Bagaimana seorang mu’min yang menjadi tuan rumah dapat menghadirkan suasana nyaman pada tamunya. Intinya bukan pada materi yang disajikan, tetapi cara memperlakukan kehadiran tamu tersebut dalam rumah kita. Persoalan ini ternyata ada kaitannya dengan komunikasi. Bukankah salah satu cara terbaik menghormati tamu adalah berbicara dengan baik dan ramah kepada mereka? Tentunya dengan diiringi wajah yang ramah pula.
Sementara kaitannya dengan tetangga ternyata ada juga. Sebab tetangga adalah pihak yang berpotensi besar menjadi tamu di rumah kita, selain teman-teman dan saudara. Bukankah dalam hubungan bertetangga sehari-hari, kita tidak terlepas dari mampir atau main ke rumah tetangga? Entah karena keperluan arisan, pertemuan PKK, menjenguk yang sakit, syukuran, atau sekedar pinjam panci. Maka di saat-saat seperti itu, menjelmalah tetangga kita sebagai tamu di rumah kita.
Sayangnya, kebanyakan orang menganggap tetangga yang berkunjung bukanlah tamu. Sehingga kala mereka bertamu seringkali kita berkata, ”Nggak usah sungkan, ya. Kayak tamu, aja.” Lalu kita biarkan mereka mengambil minum/makan sendiri, tanpa menyajikan dan mempersilakannya dengan sopan dan memuliakan mereka layaknya tamu. Jadi salah kaprah.
Sungguh mulia syari’at Islam yang menuntun manusia ke dalam rahmat. Tak hanya mengatur sikap hidup pribadi, tapi juga secara detil mengatur tata cara berinteraksi di antara sesama makhluq Allah. Menghasung sikap saling menghormati dan saling mengasihi, serta menghindarkan kehidupan di dunia ini dari kebencian dan kerusakan. Akhirnya, perenungan ini berujung pada rasa syukur dan makin cinta Islam

Wanita Soleha

SUNGGUH sangat beruntung bagi wanita shalihah di dunia ini. Ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan. Kalau pun ia wafat, maka Allah akan menjadikannya bidadari di akhirat nanti. Oleh karena itu, para pemuda jangan sampai salah memilih pasangan hidup. Pilihlah wanita shalihah untuk dijadikan istri dan pendamping hidup setia.



Siti Khadijah r.a. adalah figur seorang istri shalihah yang menjadi penentram batin, pendukung setia, dan penguat semangat suami dalam berjuang dan beribadah kepada Allah SWT. Beliau telah berkorban dengan harta, kedudukan, dan diri beliau demi membela perjuangan Rasulullah Saw. Begitu kuatnya kesan keshalihahan Khadijah r.a., hingga nama beliau banyak disebut-sebut oleh Rasul walau beliau sendiri sudah meninggal.



Allah berfirman dalam QS. An Nuur ayat 30-31, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farji (kemaluan) - nya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farji- nya dan janganlah mereka menampakkan perhiasan kecuali yang biasa nampak dari padanya.



Rasulullah Saw. bersabda : Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah. (HR. Muslim).



Ciri khas seorang wanita shalihah adalah ia mampu menjaga pandangannya. Ciri lainnya, dia senantiasa taat kepada Allah dan Rasul Nya. Make up- nya adalah basuhan air wudhu. Lipstiknya adalah memperbanyak dzikir kepada Allah di mana pun berada. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan Al Quran. Jika seorang muslimah menghiasi dirinya dengan perilaku takwa, akan terpancar cahaya keshalihahan dari dirinya.



Wanita shalihah tidak mau kekayaan termahalnya berupa iman akan rontok. Dia juga sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Tidak ada dalam sejarahnya seorang wanita shalihah centil, suka jingkrak-jingkrak, dan menjerit-jerit saat mendapatkan sesuatu kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya justru bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah).



Wanita shalihah itu murah senyum, karena senyum sendiri adalah shadaqah. Namun, tentu saja senyumnya proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Intinya, senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika kaum wanita kerja keras berlatih senyum manis semata untuk meluluhkan hati laki-laki.



Wanita shalihah juga harus pintar dalam bergaul dengan siapapun. Dengan pergaulan itu ilmunya akan terus bertambah, sebab ia akan selalu mengambil hikmah dari orang-orang yang ia temui. Kedekatannya kepada Allah semakin baik sehingga hal itu berbuah kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Pendek kata, hubungan kemanusiaan dan taqarrub kepada Allah dilakukan dengan sebaik mungkin.



Ia juga selalu menjaga akhlaknya. Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah dari kemampuannya memelihara rasa malu. Dengan adanya rasa malu, segala tutur kata dan tindak tanduknya akan selalu terkontrol. Tidak akan ia berbuat sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al Quran dan As Sunnah. Dan tentu saja godaan setan bagi dirinya akan sangat kuat. Jika ia tidak mampu melawan godaan tersebut, maka bisa jadi kualitas imannya berkurang. Semakin kurang iman seseorang, maka makin kurang rasa malunya. Semakin kurang rasa malunya, maka makin buruk kualitas akhlaknya.



Pada prinsipnya, wanita shalihah itu adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari beraneka aksesoris yang ia gunakan. Justru ia selalu menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai . Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri.



Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia polos tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukan hati tiap-tiap orang di sekitarnya. Karena ia yakin betul bahwa Allah tidak akan pernah meleset memberikan karunia kepada hamba-Nya. Makin ia menjaga kehormatan diri dan keluarganya, maka Allah akan memberikan karunia terbaik baginya di dunia dan di akhirat.



Jika ingin menjadi wanita shalihah, maka banyak-banyaklah belajar dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Bahkan kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah Saw. Seperti Siti Aisyah yang terkenal dengan kecerdasannya dalam berbagai bidang ilmu. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri seperti beliau adalah seorang istri yang bisa dijadikan gudang ilmu bagi suami dan anak-anak.



Bisa jadi wanita shalihah itu muncul dari sebab keturunan. Bila kita melihat seorang pelajar yang baik akhlaknya dan tutur katanya senantiasa sopan, maka dalam bayangan kita tergambar diri seorang ibu yang telah mendidik dan membimbing anaknya menjadi manusia yang berakhlak. Sulit membayangkan, seorang wanita shalihah ujug-ujug muncul tanpa didahului sebuah proses yang memakan waktu. Disini faktor keturunan memainkan peran. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan dan lain-lain. Apa yang nampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi.



Banyak wanita bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan yang Allah pimpinkan. Dan aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja berlaku bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri yang berumah tangga. Tidak akan rugi jika seorang remaja putri menjaga sikapnya saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, Jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya. Usahakanlah kita mampu memberikan warna yang baik bagi orang lain, bukan sebaliknya malah kita yang diwarnai oleh pengaruh buruk orang lain.



Jika para wanita muda mampu menjaga diri dan memelihara akhlaknya, maka iman kaum laki-laki akan semakin kuat. Cahaya keshalihahan wanita mukminah akan menjadi penyejuk sekaligus peneguh hati orang-orang beriman. Apalagi bagi kaum muda yang sangat rentan dari godaan syahwat. Mereka harus dibantu dalam melawan godaan-godaan.



Peran wanita shalihah sangat besar dalam keluarga dan bahkan negara. Kita pernah mendengar, bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Jika wanita shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka bisa dibayangkan, berapa banyak kesuksesan yang akan diraih. Selama ini wanita hanya ditempatkan sebagai pelengkap saja, yaitu hanya mendukung dari belakang, tanpa peran tertentu yang serius. Dalam sebuah keterangan diyatakan bahwa bejatnya akhlak wanita bisa menyebabkan hancurnya sebuah negara. Bukankah wanita itu adalah negara? Bayangkanlah, jika tiang-tiang penopang bangunan itu rapuh, maka sudah pasti bangunannya akan roboh dan rata dengan tanah, sehingga tidak akan ada lagi yang tersisa kecuali puing-puing yang nilainya tidak seberapa.



Jadi kita tinggal memilih, apakah akan menjadi tiang yang kuat atau tiang yang rapuh? Jika ingin menjadi tiang yang kuat, kaum wanita harus terus berusaha menjadi wanita shalihah dengan mencontoh pribadi istri-istri Rasulullah. Dengan terus berusaha menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara farji-nya, maka pesona wanita shalihah akan melekat pada diri kaum wanita kita.

Ketika Allah Mencintai Seseorang

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “manakala Allah mencintai seseorang, Dia akan memanggil Jibril seraya berkata, ‘Aku mencintai si Fulan. Wahai Jibril cintai pula dia’. Jibril pun mencintai orang itu dan mengumumkannya kepada semua penduduk langit. Allah mencintai si Fulan, maka cintai pula dia oleh kalian semua,’ maka semua penduduk langit mencintai orang itu, dan kemudian dia memperoleh kesenangan-kesenangan dari penduduk bumi’”. [HR Bukhari]



Gunakan 5 perkara sebelum datang 5 perkara lainnya

“ gunakanlah 5 perkara sebelum datang 5 perkara lainnya, gunakanlah masa mudamu sebelum masa tuamu., masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum miskinmu, masa lapangmu sebelum datang masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang matimu.” ( HR. Muslim, Tirmidzi dari Amru bin Maimun)





Hadits 5 perkara sebelum 5 perkara di atas adalah salah satu hadits yang sering dibawakan oleh para penceramah. Hadits ini mampu membangkitkan motivasi bagi orang yang mampu memahami maknanya dengan baik. Namun ternyata tidak semua orang mampu memahamin apalagi melaksanakannya . Memang berat sekali untuk melaksanakannya.

Namun masalah akan terasa manakala 5 perkara pertama hilang dan digantikan dengan 5 perkara lainnya. Ketika 5 perkara yang “ dibenci” manusia telah datang, barulah mereka berdo’a dan memohon kepada Allah agar segera menghilangkan 5 perkara itu dan segera digantikan dengan 5 perkara pertama.



Oleh karena itu, sebelum penyesalan itu datang, segera menggunakan 5 perkara yang pertama dengan sebaik-baiknya. Walaupun terasa berat, berusahalah dengan sekuat tenaga demi kebaikan kita di dunia dan akhirat.

Mengapa kita diperintahkan menggunakan 5 perkara sebelum datang 5 perkara lainnya ? Yuk kita lihat satu-persatu.



Pertama : masa muda sebelum masa tua Manfaat masa muda : kuat, energik, lincah, banyak ide, belum disibukkan urusan keluarga, kemana aja bisa, banyak diminta bantuan, dll. Makanya gunakan masa muda untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, masa tua akan sulit mendapatkan kesempatan seperti masa muda.

Kedua : masa sehatmu sebelum masa sakitmu Manfaat masa sehat : makan enak, tidur lelap, bisa kerja, ibadah kuat, aktifitas apapun bisa, bisa membantu orang, bisa cari uang, dll. Makanya beribadah dengan baik sewaktu kita sehat. Sebaliknya, masa sakit tidak akan merasakannya. Bahkan bisa menyusahkan orang banyak. Namun jika sabar, maka sakit itu akan menghapus dosa.

Ketiga : masa kayamu sebelum miskinmu Manfaat masa kaya : bisa berinfak, bersedekah, membantu orang miskin , membangun fasilitas umum, membangun rumah, beli kendaraan, beli apa saja bisa, dll. Maka tidak ada kata lain kecuali memanfaatkan kekayaan kita di jalan Allah. Karena harta itu milik Allah yang dititipkan ke kita.

Keempat : masa lapang sebelum datang masa sibuk Manfaat masa lapang : bisa menikmati waktu dengan tenang, berkumpul dengan keluarga, bisa tamasya, jalan-jalan ke mana aja, silaturrohim, dll. Namun jika waktu sibuk datang, maka kita hanya akan disibukkan dengan rutinitas kita.

Kelima : masa hidup sebelum mati Manfaat hidup : ya…jelas sekali . kita bisa berbuat apa saja. Karena kalau sudah mati, kita tidak bisa kembali lagi ke dunia, segala aktifitas kita akan terhenti dengan kematian. Makanya gunakan hidup ini untuk beribadah semata. Ibadah dalam artian luas. Bekerjapun jika diniatkan ibadah maka akan bisa mendatangkan pahala.

Semoga hadits 5 perkara ini mampu memotivasi kita untuk melakukan sesuatu yang terbaik untuk kita, keluarga kita, dan orang sekeliling kita. Semoga sukses dunia akhirat

Berwudhulah, Maka Batu Menjadi Emas!

Kunci yang menentukan nilai aktivitas kita bernilai batu atau emas adalah wudhu!

“Tidak seorang muslim pun yang tidur malam dalam keadaan suci (berwudhu), kemudian ia terbangun pada malam hari dan minta kepada Allah kebaikan dalam urusan dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintannya itu.” (HR Abu Daud, Nasai, Ibnu Majjah).

Ternyata tidur dalam keadaan suci dapat membawa hikmah luar biasa...
Nah, kita mau tidur batu atau tidur emas?

Demikian pula seseorang yang berjalan menuju masjid (dalam keadaan wudhu), maka Allah akan memberikan ampunan dan kenaikan derajat untuk setiap langkahnya:

“Barangsiapa berwudhu dari rumahnya, lalu berangkat menuju masjid menegakkan shalat fardhu, maka setiap langkah kanan kirinya untuk melepas dosanya dan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim)

Sebaliknya, jika langkah kita ke masjid belum dalam keadaan suci (wudhu), maka langkahnya tidak memberi fadilah untuk menghapus dosa dan kenaikan derajat.

Nah, kita mau langkah batu atau langkah emas?

Juga untuk aktivitas-aktivitas lainnya seperti membaca Quran, menuntut ilmu, bekerja, berhubungan suami istri dll semuanya akan jauh lebih bernilai jika dilakukan dalam keadaan suci (berwudhu). Karena itu, jadikanlah setiap aktivitas kita bernilai emas... jaga wudhu selalu.

Delapan Tipe Orang Perlu Dijauhi

By Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila - Rabu, 1 Desember



VIVAnews - Hubungan yang sehat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan jiwa. Namun, kerapkali kita terjebak dalam hubungan dengan sosok yang memiliki karakter 'negatif'. Mereka umumnya sering mengeluh, mudah marah, atau tidak sabar.

Mengenali karakter seseorang di awal perkenalan menjadi penting. Apalagi jika ada prospek melanjutkannya dalam hubungan yang lebih serius. Kenali sejumlah karakter seseorang, seperti dikutip dari Times of India.



1. Memelihara masa lalu

Beberapa orang menolak melepaskan masa lalu dan cenderung 'merawat' kenangan menyakitkan. Akibatnya, orang ini hidup dengan kemarahan dan kepahitan. Bila terjadi terus menerus, dapat mempengaruhi orang yang berada di sekitarnya.

Solusi: Jika mereka mulai memunculkan subjek masa lalu, jangan ragu memberitahu dia bahwa Anda tidak ingin membicarakannya.



2. Mengasihani diri sendiri

Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada orang yang merasa menanggung beban seluruh dunia. Alih-alih mencari solusi, orang tipe ini terus mengasihani diri sendiri dan tidak melihat jalan keluar.



Solusi: Tawarkan bantuan dan jika masih tidak mau berubah, sebaiknya menjauh darinya.



3. Munafik

Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada berhubungan dengan orang yang memiliki sifat 'lain di mulut lain di hati'. Di depan Anda, dia muncul orang yang paling manis, namun bersikap sebaliknya di belakang Anda.

Solusi: Jika Anda menangkap ini terjadi berulangkali kepada orang lain, segera jauhi. Bukan tidak mungkin dia melakukan hal serupa kepada Anda.



4. Selalu negatif

Dia adalah jenis orang yang selalu memandang hal negatif dari hidup mereka.

Solusi: Bantulah melihat sisi positif dari dirinya. Jika tidak mau menerima, jangan biarkan hal negatif itu mempengaruhi Anda.



5. Paling sempurna

Orang seperti ini biasanya merasa lebih baik dan menarik daripada orang lain. Ia sangat menikmati aktivitas mengkritik dan menertawai orang lain.

Solusi: Bersikap sabar dengan perilakunya. Namun, jika mereka tidak berubah, sudah saatnya Anda untuk meninggalkannya.



6. Bangga mengumbar rahasia

Mereka sangat bangga menceritakan skandal dalam hidup dan senang melibatkan sebanyak mungkin orang dalam perdebatan.

Solusi: Bisa saja Anda dapat mendengarkannya. Namun bila mempengaruhi diri sendiri, segera menjauh.



7. Frustasi

Orang ini selalu merasa frustrasi dengan hidupnya dan melampiaskannya pada orang lain di sekitarnya. Bahkan, seringkali mereka mengambil kesimpulan yang irasional.

Solusi: Jika ia mulai merencanakan sesuatu yang gila katakan bahwa hal itu mengganggu Anda.



8. Sang Komentator

Orang seperti ini mengomentari semua yang terjadi dalam kehidupan orang lain. Seringkali, perkataan mereka menimbulkan perkelahian.

Solusi: Berhati-hatilah bila berada di sekitar orang tersebut dan berhati-hati dengan perkataan Anda.

Adab Berpakaian Bagi Muslimah

oleh Profesor Immoecth pada 02 Januari 2011 jam 21:22



Penulis: Ustadz Aris Munandar

Haruskah Hitam?

Terkait dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan, terdapat beragam sikap orang yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari pendapat-pendapat ini jika ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh kita untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?

Salah satu persyaratan pakaian muslimah yang syar’i adalah pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus “perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki.

عن فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ

Dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, “Tiga jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa). Yang pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka kepada penguasanya. Yang kedua adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang mereka.” (HR Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)

Sedangkan tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama’ dengan seorang perempuan yang menampakkan “perhiasan” dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal.

Di samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Meski demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian “perhiasan” adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.

Yang pertama, sabda Nabi,

إن طيب الرجال ما خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه

“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387)

Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah.

Yang kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat berikut ini:

عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا

Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)

Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?” Para sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)” Ummi Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga awet, moga awet.” Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian berkata, “Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR. Bukhari no. 5823)

Meski ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni berwarna hitam.

Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram” (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)

Pada tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud dengan celupan dengan ‘ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.

Perbuatan Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah polos. Bahkan pakaian merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan sebagaimana keterangan di edisi yang lewat.

Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini:

* Dari Ibrahim an Nakha’i, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna merah.
* Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah).
* Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’ memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah)
* Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123).

Di samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan bahwa pakaian berwarna merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang.

Singkat kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi “perhiasan” yang tidak boleh dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah adalah:

1. Pakaian yang terdiri dari berbagai warna (Baca: Warna warni).
2. Pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388).

Al Alusi berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk “perhiasan” yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus yang terjadi di mana-mana.” (Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).

Jika demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang keadaan masa sekarang! Allahul Musta’an (Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan).

Meskipun demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah:

1. Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)

Serba Serbi Seputar Warna

Jilbab Putih

Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan memakai pakaian berwarna putih?”

Jawaban Lajnah Daimah, “Seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan karena warna putih.

Oleh karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca: Jilbab).

Pakaian Perhiasan

Dalam edisi yang lewat, telah kita bahas tentang salah satu yang terlarang untuk pakaian perempuan yaitu bukan perhiasan dan telah kita sebutkan dua kriteria untuk mengetahui hal tersebut. Namun beberapa waktu yang lewat kami dapatkan penjelasan yang lebih tepat mengenai hal ini. Tepatnya dari Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)” (Puncak, Bogor 14 Februari 2007 pukul 17:15).

Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah: “Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (’urf ).”

Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan. Hal serupa kita jumpai dalam pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.

Artikel ini merupakan ringkasan artikel yang berjudul “Adab Berpakaian” bagian ke 3 dan 4 dari beberapa seri artikel di www.muslim.or.id. Silahkan langsung merujuk ke www.muslim.or.id untuk mengetahui adab-adab berpakaian lainnya.



Wahai perempuan muslimah, melalui tulisan ini saya mencoba untuk saling mengingatkan. Dan bukan berarti saya menggurui, saya hanya ingin menyampaikan cara berpakaian muslimah baju muslim yang benar menurut Al-Quran dan Al-Hadist. Dalam bukunya ” Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunati.”, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan menurut Al-Quran dan Al-Hadist, bahwa jilbab itu harus memenuhi 8 syarat :

1. Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan.( QS.An-Nur : 31, Al-Ahzab : 59 ).
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan.( QS. An-Nur : 31, Al-Ahzab : 33 )
3. Kainnya harus tebal, tidak tipis. ( HR. Abu Dawud )
4. Harus longgar, tidak ketat, sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya. ( HR. Al-Baihaqi, Abu Dawud, dan Ad-Dhiya )
5. Tidak diberi wewangian atau parfum.( HR. An-Nasa’i, HR. Muslim )
6. Tidak menyerupai laki-laki. ( HR. Abu Dawud, HR. Ahmad, HR. Nasa’i, Hakim, Baihaqi dan Ahmad )
7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir. ( HR. Ahmad, HR. Muslim, HR. At-Tabrani )
8. Bukan libas syuhrah ( pakaian popularitas ). ( HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah )



Itulah 8 syarat pakaian wanita muslimah berpaikaian baju muslim. Pertanyaannya sekarang, apakah ukhti sudah memenuhi itu semua ? Atau bahkan ukhti belum berjilbab/masih menampakkan auratnya ?( Astaghfirullah, Na’udzubillah ). Ingat berjilbab itu kewajiban bukan sunnah atau lainnya, jadi tidak benar jika berjilbab itu menunggu kesiapan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah melimpahkan rahmad, hidayah serta ridhlo Nya pada kita semua. Amin……

Jazzakumullah Khairan Katsira……………Wasslmkm Wr Wb………